Disadari atau tidak, kita selalu
memberikan penilaian kepada orang lain. Contohnya, Anda tentu mempunyai
penilaian kepada tetangga sebelah rumah. Diseberang jalan. Pemilik toko
kelontong tempat biasa Anda memberi barang-barang kebutuhan. Apa lagi terhadap
teman sekantor yang selama 40 jam dalam seminggu Anda berinteraksi dalam satu
ruang bersama mereka. Selain menilai anak buah yang merupakan salah satu
tuntutan jabatan, Anda juga memiliki penilaian sendiri terhadap atasan. Dan
Anda, juga menilai kolega Anda. ‘Menilai
orang lain’ itu memang tidak bisa dihindari karena sudah menjadi sifat dasar
kita. Pertanyaannya adalah; benarkah penilaian kita?
Memangnya, kebenaran penilaian itu
penting? Oh, penting sekali. Sebab, jika keliru menilai orang lain maka kita
akan keliru juga dalam bersikap atau memperlakukan mereka. Contohnya, anak buah
yang Teng-Go. Dinilai oleh atasan sebagai orang yang tidak mau kerja ‘lebih’
alias hitung-hitungan. Dengan penilaian itu maka atasan menganggapnya sebagai
anak buah yang tidak bisa diharapkan untuk dipersiapkan agar kelak bisa
mendapat tugas dan kepercayaan lebih besar. Tetapi, ketika atasan itu tahu
bahwa anak buahnya itu selalu pulang ‘tepat waktu’ karena ternyata dirumahnya
mengurus ibunya yang sudah sepuh, maka penilaian atasan itu berbeda 180 derajat.
Sekarang beliau tahu bahwa dia adalah salah seorang aset perusahaan yang bisa
dipercaya. Tahu terimakasih. Pekerja keras. Dan penuh cinta. Maka sudut
pandangnya pun berbeda.
Penilaian kepada kolega juga
sama. Ada seorang teman yang dekat dengan atasan. Mudah untuk menilai kolega
seperti itu sebagai Tuan atau Nona Carmuk. Maka secara otomatis kita sebal
sekali kepada orang itu. Tidak tertarik untuk berdekat-dekatan dengannya
sehingga semakin jauhlah jarak kita kepadanya. Semakin lebar jaraknya, semakin
tumbuh subur juga prasangka. Suatu saat – secara mengejutkan – kolega kita itu
mengundurkan diri dari perusahaan. Dalam pidato acara makan siang untuk
perpisahannya, atasan kita mengatakan; “Kepergian teman kita ini merupakan kerugian
besar bagi perusahaan. Dia adalah gambaran ideal seorang profesional dan mitra
kerja yang handal. Ketika saya salah, tidak ragu mengingatkan saya. Ketika saya
mengambil keputusan keliru, dia tidak sungkan untuk menegur saya. Ketika saya
memerintahkannya sesuatu yang tidak sepatutnya, dia tidak takut menolaknya. Anak
buah seperti ini yang dibutuhkan oleh seorang atasan. Dan saya mendapatkan
semua dari teman kita ini. Semoga di kantor kita akan lebih banyak lagi
karyawan sepertinya….”
Pada saat itu kita baru tahu
bahwa orang yang selama ini disebut sebagai Mr. Carmuk ternyata tidak seperti
yang kita kira. Ternyata penilaian kita selama ini keliru. Dia bukan orang yang
manut saja. Dia bukan orang yang berprinsip ABS. Dia bukan orang yang mau
melakukan apa saja asal dapat simpati atasannya. Dia justru adalah orang yang
berani mengambil resiko untuk membantu atasannya menyelesaikan tanggungjawab
beliau dengan sebaik-baiknya. Ketika disebut carmuk oleh orang lain, dia tidak sakit
hati apa lagi balik membenci. Ketika harus berbeda pendapat secara kontruktif
dengan atasan, dia melakukannya tanpa takut kehilangan pekerjaan.
Kepada atasan. Kita pun
memberikan penilaian. Oh, ini jelas sekali. Kalau soal menilai atasan, kitalah
jagonya. Misalnya, seorang boss yang galak sekali. Kalau sudah marah bisa
membuat orang menangis. Kalau sudah kesal tidak ada yang bisa menghentikannya. Kalau
memeriksa proposal dari anak buahnya, dia ‘menggambar tanda silang – X – dari keempat
pojokan kertas. Kalau mengomentari business plan, hati perih dan telinga terasa
panas. Lalu ada seseorang yang mencoba memahami latar belakannya. Lalu pahamlah
dia dengan sikap dan gaya memimpinnya. Melalui pemahaman itu, dia jadi tahu
bagaimana caranya supaya proposalnya bisa langsung di approve tanpa coretan
menyakitkan. Dia tahu business plan seperti apa yang akan ‘laku’ dihadapannya.
Sejak saat itu, dia ‘damai dan tentram’ bekerja dengan boss yang terkenal
killer itu. Dimata kita, boss yang satu
itu begitu menyebalkannya. Tapi dimata teman kita yang memahaminya itu, boss
kita itu adalah atasan yang paling mudah untuk ditangani.
Jika Anda mengira contoh-contoh
yang saya kemukakan itu hanya reakaan belaka, ada baiknya tidak meneruskan
perkiraan itu. Lebih baik, kita sama-sama belajar untuk menyadari bahwa
penilaian kita kepada orang lain itu bersifat nisbi. Ada yang benar. Ada yang
keliru. Saya sendiri pun begitu. Tidak pernah bisa membuat penilaian yang
akurat 100% tentang orang lain. Namun, ketika bersedia berusaha meningkatkan
keakuratannya, maka kita mempunyai kadar kebenaran yang lebih baik. Dan ketika
penilaian kita kepada orang lain semakin membaik – tingkat keakuratannya – maka
sikap dan perlakuan kita kepada mereka pun lebih akurat lagi.
Jika barusan kita membicarakan
cara kita menilai orang lain, maka disisi yang lain kita perlu memahami pula;
bagaimana orang lain menilai diri kita. Atasan kita, punya penilaian sendiri
terhadap diri kita. Begitu pula halnya kolega dan bawahan kita. Tidak perlu
terlalu bersedih hati jika orang lain menilai kita secara keliru. Toh kita pun
belum tentu bisa menilai mereka secara akurat, bukan? Berbesar hatilah, ketika
menilai orang lain. Supaya tidak ternoda oleh prasangka. Berlapang dadalah
ketika menerima penilaian orang lain. Supaya terhindar dari sakit hati.
Bukankah kita sering sakit hati dengan penilaian atasan kepada kita? Kita
kecewa; mengapa atasan tidak menilai kita sebagai orang yang layak dipercaya,
dinilai bagus, dipromosi, diangkat tinggi-tinggi. Begitu pula halnya dengan
kekecewaan kita atas penilaian teman-teman. Seperti kecewanya kita terhadap
penilaian bawahan yang selalu saja negatif kepada kita.
Tidak perlu terlampau risau
dengan keakuratan penilaian orang lain kepada kita. Karena selain kita pun
sering tidak akurat dalam menilai mereka, hal terpenting melampaui semua
kepentingan itu adalah fakta bahwa; penilaian yang benar secara mutlak hanyalah
milik Tuhan. Dia yang tidak pernah lengah. Dia yang tak perlu tidur. Dialah yang
maha mengetahui setiap perilaku. Selaras dengan firmanNya dalam surah 6 ayat
59: “….Tidak
ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahuiNya. Tidak ada sebutir bijipun
dalam kegelapan bumi, dan tidak pula sesuatu yang basah dan yang kering. Yang
tidak tertulis didalam kitabNya….”
Penilaian yang mutlak itu
hanyalah milik Allah. Maka tidak perlu kecewa jika orang lain menilai kita
tidak seperti yang sesungguhnya. Bagaimanapun juga, mereka hanyalah manusia
biasa yang memiliki keserbaterbatasan, dikungkung oleh nafsu, dan dipengaruhi oleh
berbagai kepentingan. Belajarlah pula untuk menilai orang lain dengan seakurat
mungkin. Dan kita hanya bisa akurat saat menilai orang lain jika kita menggunakan
nilai-nilai yang diajarkan Tuhan. Jika petunjuk Tuhan dan contoh Rasul yang
kita jadikan pedoman – Insya Allah – kita tidak akan sembarangan menilai orang
lain. Apakah menilai atasan. Menilai bawahan. Menilai teman. Menilai siapapun. Terlebih
lagi, tentu kita akan sangat memperhatikan; kira-kira, bagaimana penilaian
Tuhan kepada kita.
Salam hormat,
Mari Berbagi
Semangat!
DEKA – Dadang
Kadarusman – 3 Agustus
2012
Author, Trainer, &
Public Speaker of Natural Intelligence
0812 19899 737 or Ms. Vivi
at 0812 1040 3327
Catatan Kaki:
Kita ingin dinilai baik secara
obyektif oleh orang lain. Maka begitu pula halnya orang lain yang mengharapkan
penilaian yang baik dan obyektif dari kita.
No comments:
Post a Comment