BUKAN SEBERAPA BANYAK, TETAPI SEBERAPA BERMAKNA
Beberapa tahun silam di antara kita ada yang pernah menginjakkan kaki di tanah suci Mekkah, memandang Ka'bah dengan linangan air mata, dan hati yang berdebar penuh penghormatan kepada Baitullah yang mulia.
Seandainya di masa depan rezeki kita berlimpah, lalu memutuskan untuk membeli sebidang tanah dan rumah di kota Mekkah untuk kita menetap di sana, apakah hal ini lebih bagus?
Ternyata ulama menjawabnya tidak. Ya, bagi orang yang memang bukan asli Mekkah, tidak dianjurkan bercita-cita tinggal di sana.
Mengapa? Karena ulama mengetahui sifat manusia, seandainya mereka setiap hari bertemu Ka'bah, setiap waktu memandang masjid Al-Haram, dan setiap saat menginjak tanah suci, lambat laut mereka akan merasa biasa, dan semakin memudar rasa penghormatannya dibanding dahulu ketika mereka hanya bertemu sewaktu-waktu.
Jadi, dalam kasus ini intinya bukan pada seberapa banyak kita berjumpa Ka'bah, tetapi seberapa bermakna Ka'bah bagi diri kita.
Tahukah saudara, dalam hal ilmu dan nasihat juga berlaku prinsip yang sama. Bukan pada seberapa banyak nasihat yang sanggup kita kumpulkan, tetapi seberapa bermakna nasihat tersebut.
Bahkan praktisi di negara-negara barat kembali menegaskan hal ini. Seperti yang dikatakan Jean Baudrillard,
"We live in a world where there is more and more information, and less and less meaning."
Kita sekarang hidup di dunia yang semakin banyak dan banyak informasi, tetapi semakin sedikit dan sedikit makna.
Ya, di sinilah kita tinggal. Dunia yang begitu mudah untuk mengakses nasihat apapun yang kita inginkan. Dunia dimana kita bergabung dengan belasan channel tausiyah, menonton puluhan video ceramah setiap hari, sampai pada titik tertentu baru kita sadari semua nasihat tersebut belum kita praktekkan. Nasihat-nasihat tersebut hanya teronggok tanpa makna di dalam hati kita.
Bagaikan kita memiliki satu rim kertas HVS, tetap saja tumpukan kertas tersebut tak bisa digunakan untuk transaksi. Lebih baik selembar uang kertas seratus ribu. Betul kan? Meskipun hanya selembar, tetapi ia punya nilai. Punya makna.
Maka, saatnya berhenti menjadi kolektor. Mulailah menjadi eksekutor. Faktanya kita tidak membutuhkan koleksi terlalu banyak nasihat dan tausiyah. Yang kita perlukan justru mengeksekusi nasihat tersebut di kehidupan sehari-hari.
Sebuah handphone yang penuh dengan tulisan-tulisan nasihat, tetapi pemiliknya tidak tergerak mengamalkan, jangan-jangan nanti yang pintar justru handphonenya, bukan pemiliknya.
Salam Hijrah.
Waktunya bangun dan berubah dari tidur panjang kita!
Sumber Inspirasi : @imammuhk Hasanah Land
No comments:
Post a Comment