Di
tempat tinggal saya, ada pedagang buah pisang keliling. Dengan tubuh
bungkuk dan cara berjalan khas manusia yang sudah renta, beliau tetap
gigih menjajakan dagangannya. Saya sering merasa iba kepadanya. Lalu
berguman didalam hati; “Bukankah seharusnya kakek itu sudah menikmati
masa tuanya? Mengapa masih harus bekerja seperti itu?”
Mantan
atasan saya juga sudah pensiun bertahun-tahun, namun sampai sekarang
saya mendengar beliau masih menjadi eksekutif di berbagai perusahaan
terkemuka. Saya sering merasa heran kepadanya. Lalu berguman didalam
hati; “Bukankah beliau itu sudah kaya raya? Mengapa masih harus bekerja
seperti itu?”
Ketika
ayah saya pensiun dari profesinya sebagai guru beberapa tahun lalu,
beliau ‘kembali ke sawah’. Benar-benar turun ke sawah dengan seragam
siap tempur untuk nyebur kedalam lumpur. Saya sering memikirkan apa yang
masih dicarinya. Lalu berkata kepada beliau; “Bukankah ini saatnya
beristirahat? Mengapa masih harus bekerja seperti itu?”
Sejak masih kecil, saya mengenal ayah sebagai
orang yang menyukai bekerja di sawah. Selepas sembahyang subuh, beliau
pergi ke sawah. Lalu pulang sekitar jam setengah tujuh. Setelah
bersih-bersih, beliau berangkat ke sekolah dengan mengendarai sepeda.
Jam satu siang, beliau sudah pulang. Sembahyang dzuhur, lalu kembali ke
sawah hingga beduk magrib tiba. Jam kerjanya dibagi rata 50%-50% untuk
mengajar dan bertani.
Ketika
berada di puncak karir keguruannya, beliau menjadi kepala sekolah di
dua sekolah berbeda pada saat yang bersamaan. Sehingga tidak sempat lagi
untuk mengurusi sawah. 100% jam kerjanya diberikan kepada profesinya
sebagai pendidik. Setelah pensiun. Beliau kembali ke sawah. Sekarang,
100% jam kerjanya untuk bercocok tanam lagi.
Kepada
ketiga jenis pekerja gigih ini saya mempunyai satu pertanyaan yang
sama; “Sampai kapan Bapak akan terus bekerja?” Dari ketiganya saya
mendapatkan jawaban yang juga sama;” Sampai tidak mampu lagi
melakukannya….” Dan saya masih juga tidak memahami ketiganya.
Dulu
sekali saya sering tidak mengerti kepada ketiga jenis orang itu.
Mungkin karena banyak orator dan buku yang mengajak kita untuk pensiun
dini. Lalu menikmati hidup dengan pelesir kesana sini. Dulu sekali, saya
sering merasa iba kepada orang-orang seperti kakek tua yang mesti
keliling kampung menjajakan buah pisang itu. Dulu sekali, saya sering
tidak habis pikir dengan para pensiunan seperti mantan atasan saya. Dulu
sekali, saya sering kasihan pada ayah. Meskipun beliau
mengatakan;”Bekerja itu bagian dari penyempurnaan hidup. Maka bekerjalah
terus hingga hidup tidak mengijinkan lagi.” Saya belum faham juga.
Suatu
waktu, saya mendapatkan berita dari kampung halaman. Ini tentang kakek
saya – ayah dari ayah saya. Beliau bekerja sebagai petani hingga usia
senja. Saya dikabari jika beliau meninggal di sawah ketika sedang
merawat tanamannya. Ayah saya juga sedemikian cintanya pada pekerjaan di
sawah. Saya curiga jika beliau akan mengalami hal yang sama seperti
kakek saya. Sekarang saya mulai memahami bahwa bekerja itu merupakan
bagian dari perjalanan ruhani dalam kehidupan spiritual mereka. Usia
saya sudah melewati 40 tahun kini. Dan saya punya kecintaan yang sama
mendalamnya terhadap pekerjaan. Jangan-jangan, saya akan mengalami hal
yang sama seperti kakek dan ayah saya.
Sekarang
saya tahu, kita keliru jika mengasihani orang-orang tua yang masih
mencintai pekerjaannya. Kita salah alamat jika demikian. Kalau kita mau
mengasihani seseorang karena bekerja, maka kasihanilah mereka yang
bekerja sambil menggerutu. Kasihanilah mereka yang percaya bahwa bekerja
itu adalah beban kegiatan yang ingin segera ditinggalkannya sedini
mungkin. Kasihanilah mereka yang bekerja karena merasa tidak punya
pilihan lain. Karena mereka yang bekerja karena terpaksa, tidak akan
mendapatkan kepuasan batin seperti yang terpancar diwajah orang-orang
yang bekerja karena mengikuti panggilan hatinya.
Kelak
jika anak-anak sudah dewasa, saya ingin mereka memahami bahwa mereka
tidak perlu mengasihani orang tua yang masih mau bekerja. Karena dengan
bekerja seseorang bisa tetap menjadi pribadi yang berguna. Pantaslah
Rasulullah menasihatkan jika sebaik-baik manusia itu adalah yang paling
banyak manfaatnya bagi orang lain. Bahkan Tuhan pun tidak pernah
berhenti berkarya. Maka ijinkanlah tubuh renta ini untuk terus berkaya,
hingga akhir hayat kelak.
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
http://www.dadangkadarusman.com/ – 29 Juni 2012
0812 19899 737 or Ms. Vivi at 0812 1040 3327
Catatan Kaki:
Yang
patut dikasihani itu adalah mereka yang bekerja dengan perasaan
terpaksa, bukan tubuh-tubuh renta yang terus berkarya karena panggilan
hati mereka. Siapapun yang terpaksa, tentu tersiksa. Sedangkan orang
yang terpanggil hatinya, menjalani pekerjaan dengan suka cita.
No comments:
Post a Comment